Perjalanan Chef Tam: Dua Bintang MICHELIN hingga Menjadi Asia’s Best Female Chef 2025

Ada momen tertentu dalam dunia kuliner yang mampu menginspirasi gelombang baru koki muda, pengusaha restoran, dan penikmat makanan. Kabar bahwa Chudaree “Tam” Debhakam dinobatkan sebagai Asia’s Best Female Chef 2025 merupakan salah satu momen tersebut. Sosok chef asal Thailand ini tidak hanya memimpin restoran bintang dua MICHELIN bernama Baan Tepa, tetapi juga mengubah cara kita memandang makanan, keberlanjutan, dan warisan kuliner. Bagi para koki, pengusaha F&B, maupun siapa pun yang tertarik pada dunia gastronomi, kisah dan filosofi Chef Tam menawarkan pelajaran berharga tentang inovasi, keberanian, dan cinta terhadap tanah kelahiran.

Awal Mula: Dari Top Chef ke Restoran Impian

Tam Debhakam sudah menarik perhatian publik sejak memenangkan program Top Chef Thailand. Namun perjalanan kulinernya dimulai jauh sebelum itu. Tumbuh di Bangkok dalam keluarga yang menghargai kebersamaan di meja makan, Tam sejak kecil menyadari bahwa makanan lebih dari sekadar pengisi perut. Dia melihat bagaimana masakan tradisional mampu membawa orang dalam perjalanan melintasi waktu dan budaya.

Setelah lulus dari International Culinary Center di New York, Tam tidak langsung kembali ke rumah. Ia memilih menimba ilmu di beberapa dapur paling menantang di Amerika Serikat, termasuk Blue Hill at Stone Barns di bawah bimbingan chef Dan Barber, pelopor gerakan farm‑to‑table. Pengalaman ini memperkuat keyakinannya bahwa kualitas bahan dan hubungan dengan petani adalah fondasi masakan yang baik. Di sana, ia belajar tentang etika keberlanjutan, pentingnya varietas lokal, dan bagaimana memasukkan cerita petani dalam setiap hidangan.

Baan Tepa: Rumah, Kebun, dan Restoran Berkebun

Sekembalinya ke Thailand, Tam membangun mimpinya di rumah keluarga. Ia mengubah hunian tua menjadi Baan Tepa, yang berarti “rumah berlimpah berkah”. Bukan sekadar restoran, Baan Tepa adalah kompleks yang terdiri dari kebun organik, dapur terbuka, ruang makan kecil, dan meja chef’s table. Semua dirancang untuk menghubungkan tamu dengan asal-usul bahan makanan yang mereka santap.

Kebun organik milik Baan Tepa menanam berbagai tanaman lokal — dari rempah-rempah khas Thailand seperti kemangi, daun jeruk, dan cabai, hingga varietas sayuran yang jarang ditemukan di kota. Para tamu diajak berjalan-jalan di kebun sebelum makan, memetik sendiri beberapa daun untuk ditambahkan ke hidangan mereka. Pengalaman interaktif ini membuat makanan terasa lebih pribadi, sekaligus mengedukasi tentang pentingnya keberagaman hayati.

Di dapur terbuka, tamu dapat melihat langsung proses memasak. Tam percaya transparansi adalah kunci: dari mana bahan berasal, bagaimana dimasak, hingga alasan di balik kombinasi rasa. Suasana keluarga tetap terjaga — Anda mungkin melihat ibu Tam duduk di pojok, menyiangi sayuran atau mengobrol dengan tamu.

Menu sebagai Peta Rasa Thailand

Apa yang membuat menu Baan Tepa begitu istimewa adalah kemampuannya menceritakan kisah Thailand melalui setiap kursus. Salah satu hidangan khasnya, “Heart of Thailand: Nam Prik”, bukan sekadar saus sambal. Setiap gigitan mewakili satu kawasan Thailand dengan memadukan sambal khas wilayah tersebut bersama bahan yang biasanya hanya ditemukan di daerah itu. Tamu seolah diajak berkeliling Thailand dalam beberapa suapan.

Hidangan lain yang tak kalah unik adalah “Dong Dang Noodles”, reinterpretasi modern dari mi jalanan, dan “Anatomy of a River Prawn”, yang menampilkan setiap bagian udang dalam tekstur dan rasa yang berbeda. Bahkan dessert-nya pun tak kalah filosofis: sorbet buah tropis yang ditanam di kebun sebelah, disajikan dengan rempah yang menenangkan pencernaan.

Tam tidak takut bereksperimen dengan teknik baru. Ia memadukan tradisi fermentasi Thai dengan teknologi kuliner modern; misalnya, menggunakan alat dehidrasi untuk membuat keripik kulit ikan, atau teknik sous-vide pada bahan seperti pepaya muda. Ia juga terinspirasi dari pengalaman internasionalnya: pengaruh rasa Amerika dan Eropa kadang muncul, tetapi selalu dalam konteks Thailand.

Komitmen terhadap Keberlanjutan

Keberlanjutan bukan sekadar kata kunci di Baan Tepa; ia tertanam dalam setiap proses. Tam bekerja langsung dengan petani kecil untuk memastikan bahan berasal dari sumber yang etis dan adil. Ia memprioritaskan varietas lokal, termasuk tanaman yang hampir punah, demi menjaga kelangsungan budaya kuliner Thailand. Di restoran, sampah organik dipisahkan dan diolah menjadi kompos untuk kebun. Sisa makanan disumbangkan atau diolah kembali menjadi menu staf.

Selain praktik internal, Tam aktif dalam organisasi Thai Harvest SOS yang menyelamatkan makanan surplus dari hotel dan restoran untuk disalurkan ke komunitas yang membutuhkan. Ia juga terlibat dalam program PBB yang fokus pada pengurangan sampah makanan. Sebagai chef, ia merasa memiliki tanggung jawab untuk memberikan contoh dan menggunakan platformnya untuk perubahan positif.

Penghargaan dan Pengakuan

Dua bintang MICHELIN yang disematkan pada Baan Tepa hanyalah salah satu pencapaian. Pada Maret 2025, Tam menerima penghargaan Asia’s Best Female Chef dalam ajang Asia’s 50 Best Restaurants di Seoul. Penghargaan ini menyoroti dedikasinya terhadap keberlanjutan dan kemampuannya mengangkat bahan lokal ke panggung internasional. Bersama Baan Tepa, ia mewakili generasi baru restoran Asia yang lebih sadar lingkungan, namun tetap berani bereksperimen dan mengambil risiko.

Apa arti semua ini bagi komunitas F&B Indonesia? Pengakuan terhadap Baan Tepa dan chefnya menunjukkan bahwa dunia semakin menghargai restoran yang punya identitas kuat, yang berakar pada budaya lokal namun berani tampil berbeda. Ini kabar baik bagi pengusaha kuliner Nusantara yang ingin menonjolkan rempah-rempah dan bahan unik Indonesia. Kisah Tam membuktikan bahwa dengan visi jelas dan komitmen terhadap kualitas, restoran dari negara berkembang pun dapat bersaing di kancah global.

Pelajaran bagi Koki Muda dan Pengusaha F&B

  1. Bangun identitas dari akar. Tam tidak mencoba meniru restoran Eropa; ia merayakan kekayaan Thailand. Koki dan pengusaha Indonesia bisa melakukan hal yang sama dengan bahan seperti tempe, rempah Sumatra, atau buah-buahan tropis.

  2. Investasi dalam keberlanjutan. Konsumen modern semakin memperhatikan jejak lingkungan restoran. Praktik seperti meminimalkan sampah, mendukung petani lokal, dan menggunakan energi terbarukan bukan hanya baik untuk planet, tetapi juga untuk bisnis.

  3. Edukasi sebagai pengalaman. Memberi tahu tamu tentang asal-usul bahan atau mengajak mereka melihat kebun menambah nilai. Pengalaman ini membangun hubungan emosional dan membedakan restoran Anda.

  4. Kepemimpinan dengan hati. Tam menunjukkan bahwa kepemimpinan tidak selalu tentang ego. Ia memimpin tim dengan memberi ruang bagi mereka untuk tumbuh, mendengarkan, dan berbagi visi.

  5. Kolaborasi lintas disiplin. Menggabungkan ilmu pertanian, nutrisi, teknologi, dan seni dalam memasak adalah kunci inovasi. Koki tidak lagi cukup hanya pandai memasak; memahami rantai pasok, gizi, dan teknologi memampukan mereka menawarkan sesuatu yang unik.

  6. Ciptakan role model. Penghargaan ini membuktikan pentingnya representasi perempuan di dunia kuliner. Tam berharap kisahnya menginspirasi chef muda, terutama perempuan, untuk mengejar karier di dapur dan memimpin dengan integritas.

Tren yang Sejalan dengan Kisah Chef Tam

Kisah Chef Tam juga mencerminkan sejumlah tren F&B global yang patut diperhatikan:

  • Farm-to-table dan biodiversitas. Ada peningkatan minat pada bahan lokal, regenerasi, dan keberlanjutan.

  • Pengalaman intim. Restoran dengan jumlah tempat duduk terbatas dan interaksi langsung dengan chef makin diminati.

  • Menu bercerita. Konsumen mengapresiasi konsep yang menghubungkan makanan dengan tempat asal atau latar belakang budaya.

  • Teknologi di dapur yang tidak menghilangkan sentuhan manusia. Chef kini menggunakan alat modern untuk memperkaya teknik tradisional, bukan menggantikannya.

Penutup: Inspirasi Tanpa Batas

Perjalanan Chef Tam Debhakam bukan hanya tentang pencapaian pribadi; ini tentang kebangkitan generasi baru chef yang memahami bahwa makanan adalah medium untuk perubahan sosial, pelestarian budaya, dan inovasi berkelanjutan. Dia mengingatkan kita bahwa memasak adalah kombinasi sains, seni, dan aktivisme. Bagi Anda yang berkecimpung di dunia kuliner Indonesia, kisah ini adalah ajakan untuk memulai atau melanjutkan perjalanan serupa: temukan identitas Anda, rangkul kekayaan alam lokal, dan gunakan makanan sebagai bahasa universal untuk menyentuh hati banyak orang.

Scroll to Top